Utang Pemerintah Berpotensi Tembus Rp 15.000 Triliun, Risiko Gagal Bayar 2026 Menghantui

Jakarta, 7 Juli 2025 — Posisi utang pemerintah kembali menuai perhatian setelah ekonom fiskal Prof. Awalil Rizky, dalam podcastnya bersama jurnalis Hersubeno Arif di kanal YouTube Hersubeno Point, membeberkan bahwa kewajiban riil negara jauh lebih besar daripada angka resmi Kementerian Keuangan. Awalil menyebut total utang seharusnya diakui Rp 13,825 triliun per 31 Desember 2024—setara 62,45 % Produk Domestik Bruto (PDB)—bila memasukkan program pensiun aparatur sipil yang kini masih ditanggung APBN.
Tiga Lapisan Utang
Dalam perbincangan berdurasi hampir dua jam berjudul “SANGAT BERBAHAYA! IND Menuju Negara Gagal Bayar – Utang Pemerintah Akhir 2026 Tembus 15.000 T”, Awalil merinci tiga definisi utang:
- Definisi resmi sebesar Rp 8,813 triliun hanya menjumlahkan pinjaman dan Surat Berharga Negara (SBN) yang rutin dipublikasikan.
- Definisi kewajiban naik menjadi Rp 10,269 triliun setelah menambahkan utang bunga jatuh tempo, subsidi belum dibayar, dan kewajiban pihak ketiga—angka yang baru diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat DPR.
- Definisi lengkap mencapai Rp 13,825 triliun karena memasukkan kewajiban pensiun jangka panjang senilai Rp 3,550 triliun.
Beban Bunga Menggerus APBN
Awalil menegaskan sisi paling kritis bukan sekadar jumlah utang, melainkan biaya layanannya. Pemerintah membayar hampir Rp 480 triliun bunga pada 2024 dan memproyeksikan Rp 550 triliun pada 2025—angka yang melampaui total anggaran bantuan sosial dan belanja pegawai negeri. Dengan tenor rata-rata delapan tahun, kombinasi cicilan pokok dan bunga tiap tahun diperkirakan dapat menyentuh Rp 1,35 triliun, mempersempit ruang fiskal untuk pendidikan, kesehatan, dan subsidi.
“Di Bibir Jurang” menuju 2026
Pendapatan negara 2025 diprediksi hanya tumbuh 0,05 %, sementara pemerintah menambah belanja, antara lain Rp 70 triliun untuk alutsista. Kondisi global yang cenderung menahan arus dana ke negara berkembang memperbesar risiko pasar enggan membeli SBN baru. “Situasinya ibarat berdiri di bibir jurang: belum jatuh, tapi sekali angin kencang bisa terperosok,” ujar Awalil, memperingatkan potensi gagal bayar (default) pada 2026 bila tren ini berlanjut.
Rekomendasi Penyelamatan Fiskal
Untuk menghindari skenario terburuk, Awalil menyarankan empat langkah:
- Menurunkan biaya bunga lewat lobi terkoordinasi dengan Bank Indonesia, BPJS Ketenagakerjaan, dan bank-bank BUMN agar yield SBN turun ke kisaran 3–4 %.
- Menahan belanja non-prioritas dan menunda proyek besar berbiaya tinggi yang belum berdampak langsung pada pertumbuhan.
- Meningkatkan transparansi dengan merilis data utang bulanan tepat waktu dan mencantumkan seluruh kewajiban.
- Memperluas penerimaan tanpa menekan UMKM, fokus pada kepatuhan korporasi besar dan pajak sektor digital.
Proyeksi Akhir 2025
Jika tidak ada koreksi fiskal, Awalil memproyeksikan utang versi lengkap dapat tembus Rp 15.000 triliun pada akhir 2025, sementara versi resmi mendekati Rp 9,700 triliun. Ia menegaskan, “Angka di kertas bisa terus berubah, tapi beban bunga yang harus dibayar tepat waktu tidak bisa ditunda. Tanpa tindakan luar biasa, bahaya fiskal bukan lagi sekadar potensi—melainkan ancaman nyata.”