Kita Tidak Bisa Membangun Masa Depan Hijau dengan Meninggalkan Siapa Pun di Belakang

Oleh: Marningot Tua Natalis Situmorang (KaProdi Magister Manajemen Lingkungan SPs Universitas Sahid)
Gema “transisi hijau” dan “ekonomi berkelanjutan” kini terdengar di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di tengah komitmen global untuk menekan emisi karbon dan memerangi krisis iklim, triliunan dolar diinvestasikan untuk energi terbarukan, efisiensi sumber daya, dan ekonomi sirkular. Narasi yang dibangun adalah narasi optimisme, yaitu sebuah masa depan yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih tangguh. Namun, di balik visi yang gemilang ini, ada satu pertanyaan krusial yang sering kali terlewatkan, yaitu untuk siapa masa depan hijau ini dibangun?
Jika kita tidak berhati-hati, transisi yang kita dambakan ini berisiko menjadi sebuah klub eksklusif yang hanya memperlebar jurang ketidaksetaraan yang sudah ada. Ironisnya, mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim justru yang paling mungkin tertinggal dalam solusinya. Kita tidak bisa dan tidak boleh membangun masa depan hijau dengan meninggalkan siapa pun di belakang, terutama bagi sekitar 1,3 miliar penyandang disabilitas di seluruh dunia, atau lebih dari 22,9 juta jiwa di Indonesia berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022.
Kerentanan Ganda (Krisis Iklim dan Eksklusi Sosial)
Hubungan antara krisis lingkungan dan disabilitas bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari sebuah sistem yang mengabaikan inklusivitas. Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara konsisten menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mengalami dampak krisis iklim secara tidak proporsional.
Ketika bencana iklim seperti banjir, badai, dan gelombang panas melanda, kejadian yang frekuensinya terus meningkat penyandang disabilitas menghadapi risiko kematian 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi non-disabilitas. Mengapa? Alasannya sistemik. Sistem peringatan dini sering kali tidak aksesibel (misalnya, hanya berupa sirene audio bagi penyandang tuli). Rute evakuasi dan tempat pengungsian kerap tidak ramah bagi pengguna kursi roda atau mereka dengan keterbatasan mobilitas. Akses terhadap bantuan darurat, layanan kesehatan, dan informasi penting sering kali terhalang oleh hambatan fisik dan komunikasi.
Di Indonesia, negara yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi, data ini seharusnya menjadi alarm yang memekakkan telinga. Banjir yang merendam kawasan perkotaan atau kekeringan yang melanda lahan pertanian tidak hanya menghancurkan properti, tetapi juga memutus akses penyandang disabilitas terhadap terapi, obat-obatan, dan perangkat bantu yang vital untuk kelangsungan hidup mereka. Ketika kita berbicara tentang “ketahanan iklim” (climate resilience), kita harus bertanya, ketahanan untuk siapa? Sebuah komunitas tidak bisa disebut tangguh jika anggota-anggotanya yang paling rentan justru terabaikan saat krisis datang.
Ekonomi Hijau (Peluang Baru atau Hambatan Lama?)
Transisi hijau menjanjikan gelombang baru penciptaan lapangan kerja. Pemerintah Indonesia, misalnya, memproyeksikan potensi terciptanya hingga 4,4 juta “pekerjaan hijau” (green jobs) baru pada tahun 2030 di sektor energi, pengelolaan limbah, dan restorasi lahan. Ini adalah sebuah peluang emas. Namun, tanpa desain yang inklusif sejak awal, peluang ini akan menguap bagi penyandang disabilitas.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih sangat rendah. Data Sakernas Agustus 2023 menunjukkan TPAK penyandang disabilitas hanya 54,98%, jauh di bawah TPAK non-disabilitas yang mencapai 84,65%. Tingkat pengangguran terbuka mereka juga lebih tinggi. Sekarang, bayangkan sektor-sektor hijau yang sedang berkembang, seperti instalasi panel surya di atap, teknisi turbin angin, operator di fasilitas daur ulang canggih, atau pemandu ekowisata.
Pertanyaannya adalah apakah program pelatihan untuk pekerjaan ini dirancang secara inklusif? Apakah materi kursus tersedia dalam format yang dapat diakses (misalnya, dengan juru bahasa isyarat atau teks Braille)? Apakah perusahaan energi terbarukan memiliki kebijakan rekrutmen yang proaktif untuk menjaring talenta dari komunitas disabilitas? Jika jawabannya tidak, maka “ekonomi hijau” hanya akan mereplikasi pola diskriminasi yang sudah mengakar di pasar kerja konvensional. Kita akan menciptakan sebuah ekonomi masa depan yang teknologinya maju, tetapi kesadaran sosialnya terbelakang.
Mengubah Paradigma (Disabilitas sebagai Sumber Inovasi Hijau)
Kesalahan terbesar adalah memandang penyandang disabilitas hanya sebagai kelompok rentan yang pasif dan perlu dilindungi. Paradigma ini harus dibalik. Komunitas disabilitas adalah sumber inovasi, kreativitas, dan resiliensi yang luar biasa, serta kualitas yang sangat kita butuhkan untuk menghadapi tantangan lingkungan yang kompleks.
Hidup dengan disabilitas di dunia yang tidak dirancang untuk mereka menumbuhkan kemampuan adaptasi dan pemecahan masalah yang unik. Perspektif ini adalah aset yang belum dimanfaatkan dalam ekonomi hijau. Prinsip “Desain Universal” (Universal Design), yang diperjuangkan oleh gerakan disabilitas untuk menciptakan produk dan lingkungan yang dapat digunakan oleh semua orang, secara inheren sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Desain yang inklusif sering kali lebih efisien, lebih tahan lama, dan lebih bijaksana dalam penggunaan sumber daya.
Di sektor ekonomi sirkular, peran penyandang disabilitas bisa sangat sentral. Banyak pekerjaan dalam rantai nilai sirkular, seperti pemilahan, perbaikan (reparasi), rekondisi (refurbishment), dan daur ulang (upcycling) dapat diadaptasi untuk berbagai jenis kemampuan. Keterampilan yang membutuhkan ketelitian, fokus, dan pekerjaan tangan bisa menjadi keunggulan. Bayangkan pusat-pusat perbaikan elektronik atau lokakarya upcycling furnitur yang secara sengaja memberdayakan tenaga kerja disabilitas. Ini bukan hanya program amal, melainkan model bisnis yang cerdas, yang menciptakan nilai ekonomi sambil menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan sekaligus.
Empat Pilar Aksi Inklusif
Untuk memastikan transisi hijau tidak meninggalkan siapa pun, retorika harus diubah menjadi aksi nyata. Ada empat pilar yang harus menjadi fondasi, pertama, setiap kebijakan, regulasi, dan alokasi dana terkait iklim dan lingkungan harus menyertakan “Analisis Dampak Inklusi Disabilitas”. Libatkan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) sejak fase perencanaan, bukan sebagai peninjau di akhir. Prinsip “Nothing About Us Without Us” (Tidak Ada Satu Pun Mengenai Kami Tanpa Kami) harus menjadi mantra suci. Kedua, pemerintah dan sektor swasta harus berkolaborasi untuk menciptakan program pelatihan vokasi di sektor hijau yang sepenuhnya aksesibel. Berikan insentif fiskal bagi perusahaan hijau yang memenuhi kuota 1-2% pekerja penyandang disabilitas, sesuai amanat Undang-Undang No. 8 Tahun 2016.
Ketiga, kita tidak bisa mengelola apa yang tidak kita ukur. Semua pengumpulan data terkait dampak iklim, partisipasi kerja, dan akses layanan harus dipilah berdasarkan status disabilitas. Data ini akan membuka mata kita terhadap skala masalah yang sebenarnya dan memungkinkan intervensi yang lebih tepat sasaran. Keempat, sediakan akses permodalan, bimbingan, dan pasar bagi wirausahawan penyandang disabilitas yang ingin membangun bisnis di sektor keberlanjutan. Inovasi mereka bisa menjadi kunci untuk solusi-solusi lokal yang efektif.
Pada akhirnya, transisi hijau adalah ujian sejati bagi peradaban kita. Ini bukan sekadar tantangan teknis tentang megawatt dan metrik ton karbon. Ini adalah tantangan moral tentang keadilan dan kemanusiaan. Masa depan yang benar-benar berkelanjutan bukanlah masa depan yang hanya hijau, tetapi juga adil. Ia adalah masa depan di mana energi bersih menerangi rumah semua orang, di mana udara bersih dihirup oleh semua kalangan, dan di mana peluang ekonomi terbuka bagi semua talenta. Membangun masa depan seperti itu adalah satu-satunya jalan ke depan, dan kita harus menempuhnya bersama-sama, tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.