Penegakan Hukum dalam Pemerintahan Prabowo Subianto

Perspektif Teori Struktur Sosial dan Kepemimpinan Adaptif

Penegakan hukum merupakan fondasi utama untuk membangun keadilan dan menjaga legitimasi negara. Dalam sejarah panjang Indonesia, hukum sering kali dipandang tidak bekerja netral, melainkan tunduk pada kepentingan elit politik dan ekonomi. Pemerintahan Prabowo Subianto akan diuji apakah mampu menghadirkan hukum sebagai panglima atau hanya sekadar alat kekuasaan.

Struktur Sosial dan Keadilan Hukum

Mengacu pada teori struktur sosial Talcott Parsons, masyarakat terdiri dari subsistem—politik, ekonomi, hukum, dan budaya—yang harus saling mendukung agar stabil. Bila salah satu subsistem tidak berfungsi, maka akan terjadi ketidakseimbangan sosial. Dalam konteks Indonesia, penegakan hukum yang lemah menciptakan “disfungsi struktural” (Merton), yakni lahirnya praktik mafia hukum, diskriminasi, serta rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat.

Implikasinya, lemahnya hukum membuat masyarakat melihat adanya perlakuan berbeda antara rakyat kecil dan elit, sehingga memperlebar jurang ketidakadilan. Relevansinya dengan pemerintahan Prabowo adalah kebutuhan mendesak untuk memperkuat lembaga hukum agar independen, konsisten, dan bebas dari intervensi politik. Tanpa reformasi struktural, hukum akan tetap dipersepsikan sebagai instrumen kepentingan, bukan sarana keadilan.

Kepemimpinan Kuat dan Adaptif

Dari sisi kepemimpinan, teori kepemimpinan adaptif (Heifetz) menekankan pentingnya kemampuan pemimpin menyesuaikan diri dengan perubahan zaman serta melibatkan masyarakat dalam proses kebijakan. Penegakan hukum di era digital menuntut transparansi, keterbukaan data, dan partisipasi publik. Implikasinya, pemerintah harus membuka ruang kontrol masyarakat serta mengembangkan sistem hukum berbasis digital untuk mencegah praktik pungli dan manipulasi. Relevansinya bagi Prabowo, ia perlu mengadopsi e-law dan digitalisasi birokrasi hukum agar kepercayaan masyarakat meningkat.

Di sisi lain, teori kepemimpinan kuat (strong leadership) menekankan perlunya ketegasan dan keberanian politik dalam menegakkan aturan, terutama menghadapi kelompok oligarki dan pejabat yang seringkali kebal hukum. Implikasinya, pemimpin yang kuat harus berani menindak aktor besar, meski berisiko menimbulkan resistensi politik. Relevansinya dengan Prabowo, kepemimpinannya yang dikenal tegas perlu diarahkan untuk memastikan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tetapi tetap menjaga independensi lembaga hukum agar tidak terjebak pada praktik otoritarianisme.

Tantangan dan Harapan

Pemerintahan Prabowo Subianto berada di persimpangan: apakah hukum akan ditegakkan sebagai instrumen keadilan atau kembali menjadi alat kekuasaan. Dari perspektif teori sosial dan kepemimpinan, tantangan utamanya adalah membangun struktur hukum yang sehat serta menghadirkan kepemimpinan yang kuat sekaligus adaptif.

Jika keduanya berhasil dijalankan, maka hukum akan berfungsi sebagai pilar keadilan, masyarakat akan mendapatkan perlakuan setara di hadapan hukum, dan legitimasi pemerintahan akan semakin kokoh. Namun, bila gagal, penegakan hukum hanya akan melahirkan ketidakadilan baru, memperdalam jurang sosial, dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap negara.

Harapan rakyat jelas: hukum harus ditegakkan secara adil, konsisten, dan transparan. Pemerintahan Prabowo dituntut untuk menjadikan hukum benar-benar sebagai panglima, demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan bermartabat.

Penulis: Dr. Ibnu hadjar.M.I.Kom
(Akademisi UIN Alauddin Makassar).

Back to top button