Parade Koruptor di Etalase Publik: Perayaan Hukum atau Anestesi Sosial?

Oleh: Dr. Ibnu – Akademisi UIN Alauddin Makassar

Setiap pekan, ruang publik kita seolah tak pernah kehabisan tontonan. Rompi oranye KPK, pengawalan ketat Kejaksaan Agung, dan konferensi pers yang mengumumkan penangkapan baru. Media dengan masif memberitakannya, mengubah tragedi korupsi menjadi sebuah drama serial yang kita ikuti episodenya dari hari ke hari.

Beberapa waktu lalu, kita disuguhi skandal pengadaan laptop pendidikan bernilai triliunan rupiah di Kementerian Pendidikan yang mengkhianati masa depan generasi. Belum kering berita itu dari ingatan, kini kita kembali menyaksikan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Mandailing Natal, yang menyeret pejabat Dinas PUPR Sumatera Utara dalam dugaan praktik lancung proyek infrastruktur.

Rentetan peristiwa ini—penangkapan, pemeriksaan, penetapan tersangka—dipentaskan di etalase publik dengan begitu meriah. Tentu, dari satu sisi, ini adalah bukti bahwa aparat penegak hukum kita bekerja. Ada upaya, ada hasil, dan ada pelaku yang diseret ke meja hijau. Namun, saya khawatir ada efek samping yang berbahaya dari perayaan penindakan ini: anestesi sosial.

Ketika kasus korupsi dipertontonkan setiap hari dengan pola yang nyaris serupa, ia berisiko kehilangan daya kejutnya. Korupsi tidak lagi menjadi sebuah kejahatan luar biasa yang mengguncang nurani, melainkan menjadi sebuah banalitas—hal yang biasa, lumrah, dan sudah dapat diprediksi. Masyarakat mulai mati rasa. Kemarahan publik yang seharusnya menjadi energi sosial untuk menuntut perubahan sistemik, perlahan berubah menjadi sekadar komentar sinis di media sosial sebelum akhirnya terlupakan oleh kasus baru di esok hari.

Inilah paradoks transparansi di era digital. Di satu sisi, kita mendapatkan keterbukaan informasi. Di sisi lain, banjir informasi tanpa pendalaman makna justru menumpulkan ketajaman nalar kritis kita. Kita merayakan penangkapan para “ikan teri” atau “kakap”, namun seringkali lupa menanyakan pertanyaan yang lebih fundamental: Mengapa “kolam” yang membesarkan mereka tidak pernah dikuras? Mengapa sistem pengadaan barang, perizinan, dan promosi jabatan kita terus-menerus memproduksi pejabat korup baru?

Parade penangkapan ini menciptakan ilusi bahwa kita sedang menang melawan korupsi. Padahal, kita mungkin hanya sibuk menangkapi nyamuk tanpa pernah memberantas sarangnya. Selama fokus kita hanya pada aspek penindakan yang dramatis dan melupakan akar masalah pada sistem pencegahan yang sunyi dan tak populer, maka panggung sandiwara ini akan terus berlanjut. Dan kita, sebagai penonton, mungkin akan terus bertepuk tangan, tanpa sadar bahwa kita sebenarnya sedang dibius.

Back to top button