Mengenang Sang Pemantik: UIN Alauddin Kehilangan Pustaka Berjalan, Dr. Abdul Halik

indexmedia, Gowa – Ada ruang-ruang yang kini terasa hampa di sudut Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar. Sosok tenang itu, dengan senyum khas dan tatapan mata yang selalu seolah mengajak berpikir, Dr. Abdul Halik, M.Si. telah berpulang Jumat, 11/07/2025. Kepergiannya bukan hanya kehilangan seorang dosen, melainkan kehilangan sebuah “pustaka berjalan” yang tak pernah lelah memantik api intelektual.
Bagi ratusan mahasiswa dan alumni yang pernah bersentuhan dengannya, nama Dr. Abdul Halik adalah sinonim dari diskusi yang mendalam. Ia adalah muara bagi mereka yang gelisah dengan pertanyaan, bingung dengan kerangka teori, atau sekadar ingin memahami kompleksitas realitas sosial. Waktu istirahat baginya adalah perpanjangan jam kuliah; sebuah kesempatan emas untuk melayani dahaga ilmu di luar kelas yang formal.
“Bincang-bincang dengan almarhum itu selalu berisi, punya makna, dan sarat akan bumbu-bumbu ilmiah yang merangsang otak,” kenang Ibnu Hajar, seorang kolega dosen. “Beliau punya cara unik untuk membuat kita merasa bahwa bertanya itu penting, dan berpikir itu sebuah kenikmatan. Ada semacam dorongan untuk terus membaca setelah berbicara dengannya.”
Kenangan itu diperkuat oleh dari Fathur Pahlevi, salah satu anak bimbingannya S1 dan S2. Menurutnya, Almarhum adalah sosok akademisi murni yang memandang dunia dari kacamata ilmu pengetahuan. Dalam setiap perjumpaan, tak pernah sekalipun terucap keluhan atau perbincangan mengenai hal-hal material seperti gaji.
“Setiap kali kami duduk bersama, yang kami persoalkan adalah metodologi, politik, komunikasi dan filsafat,” ungkap Levi. “Tidak pernah sekalipun beliau bicara soal gaji. Fokusnya selalu pada gagasan, pada bagaimana sebuah argumen dibangun, dan bagaimana sebuah fenomena bisa dibedah secara ilmiah.”
Dengan ketenangannya, ia menciptakan ruang aman bagi mahasiswa untuk berargumentasi, salah, dan belajar lagi tanpa rasa takut.
Semangatnya menular, tidak hanya ke bawah, tetapi juga ke samping. Ia tak segan mendorong banyak mahasiswa untuk untuk terus melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3, mengingatkan untuk terus meneliti, dan yang terpenting, untuk tidak pernah berhenti menulis. Ia adalah bukti hidup bahwa pengabdian terbaik seorang pendidik adalah dengan terus meng-upgrade dirinya sendiri.
Kini, sang pemantik itu telah pergi mendahului kita. Namun, apinya tidak akan pernah padam. Ia akan terus menyala dalam setiap skripsi yang terbimbing oleh pemikirannya, dalam setiap argumen kritis yang terlontar dari mulut mahasiswanya, dan dalam semangat para koleganya untuk meneruskan perjuangan intelektualnya. Selamat jalan, guru kami. Warisanmu akan abadi.