Ujian Kenegarawanan Prabowo:Menavigasi Gelombang Protes di Tahun Pertama

Langit Jakarta dan beberapa kota besar lainnya baru saja mereda setelah empat hari berturut-turut diwarnai oleh gelombang demonstrasi massa pada 25-28 Agustus 2025. Aliansi mahasiswa, serikat buruh, dan elemen masyarakat sipil turun ke jalan, menyuarakan penolakan keras terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan. Fenomena ini bukan sekadar riak politik biasa; ia adalah ujian kenegarawanan pertama yang sesungguhnya bagi Presiden Prabowo Subianto, yang menguji bukan hanya ketahanan kebijakannya, tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap pemerintahannya.

Krisis Kebijakan dan Runtuhnya Kepercayaan Publik

Akar dari gelombang protes ini bersifat multifaset, memadukan penderitaan ekonomi riil dengan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap institusi negara. Di jantungnya, kebijakan pemerintah yang menjadi pemicu utama secara luas dipersepsikan sebagai kebijakan yang anti-rakyat, membebani masyarakat yang sudah berjuang keras dan memicu kemarahan kolektif. Sentimen ini diperkuat oleh analisis tajam, seperti yang diungkapkan oleh pengamat Valens, bahwa demonstrasi ini adalah refleksi otentik dari tekanan ekonomi yang kian menghimpit, menciptakan jurang persepsi antara rakyat yang merasa kian menderita sementara elite politik dianggap terus diuntungkan.

Narasi penderitaan ekonomi ini kemudian bertemu dengan kebuntuan aspirasi politik. Kericuhan yang pecah di depan Gedung DPR/MPR tidak bisa dilihat sekadar sebagai insiden keamanan; ia menjadi simbol tragis dari ketidakberpihakan pemerintah dan legislatif terhadap suara rakyat. Ketika gerbang parlemen terasa lebih kokoh daripada kemauan untuk mendengar, maka jalanan menjadi satu-satunya mimbar yang tersisa. Situasi diperkeruh oleh munculnya tudingan di ruang publik mengenai adanya “skenario busuk” yang berupaya menggeser fokus kemarahan publik dari substansi kebijakan ke arah aparat kepolisian di lapangan. Terlepas dari kebenarannya, munculnya narasi semacam ini menandakan tingkat ketidakpercayaan yang parah, di mana publik merasa negara tidak lagi bermain jujur. Dengan demikian, akar masalahnya adalah perpaduan racun antara kebijakan yang menyakitkan dan keyakinan bahwa para pembuat kebijakan telah berkhianat pada amanat rakyat.

Dilema Antara Pendekatan Keamanan dan Aspirasi Publik

Menghadapi diagnosis masalah yang begitu dalam, pertahanan pertama dari lingkaran kekuasaan yang cenderung bersifat represif adalah sebuah langkah yang sangat berbahaya. Sebagai seorang pemimpin dengan latar belakang militer, Presiden Prabowo mungkin memiliki insting alami untuk menerapkan pendekatan keamanan (security approach) yang tegas. Namun, dalam konteks runtuhnya kepercayaan publik, pendekatan semacam itu justru akan menjadi bumerang. Jika pemerintah hanya merespons dengan pengerahan aparat, narasi ancaman, dan penangkapan, hal itu akan menjadi konfirmasi di mata publik bahwa tudingan “ketidakberpihakan” dan “skenario busuk” itu memang benar adanya.

Langkah tersebut akan memperkuat citra pemerintah sebagai elite yang terpisah dari penderitaan rakyatnya. Di sinilah letak dilema krusial bagi Presiden: memilih antara refleks keamanan untuk menjaga stabilitas, atau mengambil langkah bijaksana untuk memulihkan legitimasi. Pertahanan terbaik bukanlah dengan mengeraskan barikade, melainkan dengan meruntuhkan tembok arogansi dan membangun kembali jembatan kepercayaan yang telah retak.

Membangun Kembali Jembatan Kepercayaan

Pemerintah harus segera beralih dari posisi defensif ke langkah-langkah proaktif yang secara langsung menjawab akar masalah ketidakpercayaan. Berikut adalah empat gerakan kongkret yang harus menjadi prioritas; langkah pertama adalah membuka ruang dialog untuk memulihkan legitimasi dengan mengundang perwakilan sah dari aliansi mahasiswa dan serikat buruh ke Istana, bukan untuk formalitas, tetapi untuk dialog yang tulus. Pemerintah harus secara terbuka mengakui beban berat yang ditimbulkan oleh kebijakannya. Ini adalah langkah vital untuk menunjukkan bahwa pemerintah mendengar dan menghargai aspirasi rakyat, sekaligus menjadi langkah awal untuk membantah narasi “ketidakberpihakan”.

Selanjutnya, pemerintah perlu menjalankan operasi transparansi untuk melawan spekulasi. Untuk melawan tudingan adanya agenda tersembunyi dan persepsi bahwa elite diuntungkan, pemerintah wajib membeberkan secara detail dan mudah dipahami seluruh data terkait kebijakan tersebut. Transparansi anggaran dan alokasi dana adalah obat paling mujarab untuk mematahkan narasi ketidakpercayaan dan “skenario busuk”.

Pemerintah juga harus menggelar jaring pengaman sosial sebagai bukti keberpihakan. Pemerintah harus segera mempercepat dan memperluas Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tepat sasaran. Ini bukan lagi sekadar kompensasi, melainkan sebuah pernyataan politik yang kuat. Ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah berpihak pada kelompok paling rentan dan secara aktif berupaya mengurangi penderitaan rakyat, sekaligus melawan citra “anti-rakyat”.

Terakhir, melakukan evaluasi kebijakan adalah sebuah tanda kerendahan hati. Presiden harus memerintahkan evaluasi terbuka dan menyeluruh terhadap kebijakan yang menjadi pemicu protes. Mengakui adanya kekurangan dalam implementasi dan menunjukkan kemauan untuk melakukan koreksi adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Ini mengirimkan sinyal bahwa pemerintah tidak anti-kritik dan bersedia berbenah demi kepentingan publik yang lebih besar.

Dari Krisis Menuju Pemulihan Kepercayaan

Gelombang protes Agustus 2025 adalah cermin dari luka dan ketidakpercayaan publik. Presiden Prabowo Subianto kini berada di titik pijak yang akan mendefinisikan warisan kepemimpinannya. Ini bukan lagi sekadar soal popularitas, melainkan tentang memulihkan legitimasi dan kepercayaan publik yang terkoyak. Dengan memilih jalan dialog, transparansi, dan koreksi diri di atas pendekatan keamanan semata, ia dapat mengubah krisis legitimasi ini menjadi awal dari sebuah pemulihan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa pemerintahannya bukanlah elite yang terpisah, melainkan pelayan rakyat yang mendengar, merasakan, dan bersedia berbenah.

Penulis: MEGA OKTAVIANY (Sekretris Eksekutif Bersama Institute)

Back to top button