DPR Ingin Kelola Kas Sendiri: Transparansi Naik Kelas atau Pintu Korupsi Terbuka?

Jakarta, 5 Juli 2025 — Di balik pengesahan Rencana Strategis (Renstra) DPR 2025-2029 yang disetujui semua fraksi awal pekan ini, tercantum agenda besar: “kemandirian anggaran”. Lewat rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), pimpinan Dewan menegaskan keinginan agar anggaran DPR—tahun depan disetujui Rp 9,25 triliun—tidak lagi dicairkan via Kementerian Keuangan, tetapi dikelola penuh oleh sekretariat DPR sendiri. Dukungan politiknya berpatokan pada Pasal 75 UU MD3, sementara contoh yang dikutip adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang sudah lama menyusun pagunya sendiri.

Para pendukung menyebut birokrasi Kemenkeu kerap menunda perjalanan pengawasan dan rapat panitia khusus. “Kalau BPK bisa independen, DPR seharusnya juga,” ujar seorang anggota BURT dalam rapat tertutup yang bocor ke publik. Namun data APBN 2025 menunjukkan BPK tetap menerima pagu lewat APBN dan diaudit eksternal; bahkan pagunya baru saja ditekan menjadi Rp 4,77 triliun setelah Komisi XI menuntut efisiensi— bukti bahwa “independen” tidak berarti bebas dari kontrol fiskal negara.

Bagaimana praktik di demokrasi lain?

  • Amerika Serikat: Kongres merancang Legislative Branch Appropriations Bill sendiri, tetapi tetap dicairkan Departemen Keuangan dan seluruh transaksi diaudit Government Accountability Office. Anggaran FY 2025 ditetapkan US $ 7,125 miliar (≈ Rp 113 triliun). (appropriations.house.gov)
  • Inggris: House of Commons Commission menyiapkan estimasi, namun anggarannya—£ 480,1 juta (≈ Rp 9,1 triliun) untuk 2025/26—harus disetujui Menteri Keuangan dan diaudit National Audit Office. (parliament.uk)
  • Jerman: Belanja Bundestag (€ 1,24 miliar ≈ Rp 21 triliun untuk 2024) tercantum dalam Einzelplan 02 APBN federal dan diawasi Bundesrechnungshof. (welt.de)

Ketiganya memberi parlemen hak menyusun anggaran, tetapi tidak melepas rantai pembayaran dari kas negara atau kewajiban audit eksternal—garis pertahanan ganda agar legislator tak merangkap “bendahara” sendiri.

Risiko jika DPR memegang kas sendiri

Pengamat tata-negara UI, Dr Erika Nugraha, menilai usul DPR sah-sah saja “asal rantai audit publik tetap melekat”. Tanpa itu, DPR berpotensi menjadi “pemerintah mini”: menulis undang-undang, menyetujui APBN, sekaligus mengeksekusi kasnya sendiri—situasi yang di negara manapun dianggap konflik kepentingan laten. Jika regulasi diubah sesuai keinginan DPR, satu-satunya pagar tersisa hanyalah publik dan media, yang aksesnya ke rincian belanja sering kali terbatas.

Dengan Renstra baru telah bergulir, bola kini di Komisi XI dan pemerintah: apakah mereka setuju merevisi UU Keuangan Negara demi membiarkan DPR memegang kas sendiri, atau mempertahankan skema saat ini yang masih memerlukan checks-and-balances kementerian keuangan dan audit eksternal—sebagaimana dipraktikkan hampir semua demokrasi mapan.

Back to top button