Banjir Jeneponto: Cermin Kegagalan, Akademisi UIN Alauddin Sudah Mengigatkan Dalam Disertasinya

Banjir bandang kembali menerjang Kecamatan Rumbia, Jeneponto, Sabtu pagi (5 Juli 2025). Hujan deras dua hari membuat Sungai Kelara meluap; sebuah rumah panggung di Desa Bontotiro nyaris hanyut, dan lima anggota keluarga dievakuasi oleh tim gabungan BPBD-Polri. Peristiwa ini hanya selang tujuh tahun dari banjir 2018 yang menewaskan puluhan orang, seolah menegaskan: pola penanganan kita tidak banyak berubah.
Padahal, disertasi “Konstruksi Sosial Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Jeneponto” (Ibnu Hajar, 2024) sudah memetakan akar persoalan: kerusakan hutan lindung di hulu Kelara, alih-fungsi lahan tanpa kesadaran ekologis, dan rendahnya literasi kebencanaan masyarakat.oroti bagaimana warga terpaksa “mengakali” risiko dengan membangun rumah dua lantai dan memperkuat pondasi beton—bukti adaptasi dilakukan secara individual karena strategi kolektif belum bekerja. Persoalan yang ditekankan penelitian itu—yakni sinergi pemerintah–tokoh masyarakat–tokoh adat–media—belum benar-benar terinstitusikan. Contoh paling nyata: sistem peringatan dini masih lemah. Warga Bontotiro baru menyadari bahaya setelah air merendam lantai rumah, bukan melalui sirine atau SMS blast. BPBD memang bergerak cepat mengevakuasi, tetapi di fase “tanggap darurat”, bukan “pra-bencana”.
Disertasi tadi menyebut komunikasi partisipatif dan pendidikan kebencanaan di sekolah dasar sebagai kunci merubah habituasi masyarakat.m kebencanaan yang diusulkan belum kunjung menjadi muatan lokal; tokoh adat yang biasa memberi “tanda alam” juga tersisih oleh tata guna lahan komersial yang menutup jalur air. Alhasil, setiap kali hujan ekstrem, banjir menjadi “takdir”—sebuah objektifikasi yang justru dikritik teori konstruksi sosial Peter Berger & Thomas Luckmann karena mengaburkan tanggung jawab manusia.* Mitigasi struktural harus dibarengi rekonstruksi budaya. Normalisasi sungai tanpa kampanye rewilding hulu hanya memindahkan risiko ke hilir.
Jaringan sosial lokal adalah early-warning terbaik. Jadikan kelompok tani, karang taruna, dan masjid sebagai node sensor manual—seperti model “neighbor-to-neighbor alert” di Jepang—sebelum alat elektronik dipasang.
Audit publik atas alih-fungsi hutan perlu dibuka; kalau tidak, banjir setiap musim akan menjadi “ritual tahunan” yang mahal.
Integrasi mata pelajaran kebencanaan di SD-SMP Jeneponto harus dipercepat, sesuai rekomendasi penelitian, agar pola adaptasi warga tidak berhenti pada betonisasi tiang rumah.truksi sosial yang melanggengkan kerentanan, data banjir hari ini hanya akan menambah deret statistik—dan disertasi Ibnu Hajar akan terus terbukti relevan bukan karena diimplementasikan, tetapi karena diabaikan.