Kebijakan Kontroversial, Komunikasi Politik, dan Gelombang Ketidakpercayaan Publik

Beberapa minggu terakhir, ruang publik Indonesia diguncang oleh serangkaian kebijakan dan pernyataan kontroversial yang memantik reaksi keras masyarakat. Dari polemik tambang di tanah Papua Raja Ampat, klaim pulau di Aceh oleh Sumatra Utara, rencana negara mengambil alih tanah nganggur, pemblokiran rekening tak aktif oleh PPATK, kenaikan PPN dan pajak royalti, hingga isu kenaikan tunjangan DPR RI yang kontras dengan kondisi rakyat yang sedang susah. Ditambah lagi pernyataan sebagian anggota DPR yang menuduh rakyat “bodoh dan kolot”, menjadikan luka sosial semakin menganga.
Reaksi masyarakat tidak sekadar kritik, tetapi berubah menjadi gelombang demonstrasi di pusat dan daerah. Tragisnya, terjadi pula insiden korban jiwa dari kalangan ojek online yang terlindas mobil baracuda Brimob dalam aksi protes. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ini sekadar deretan kebijakan salah urus, ataukah ada skenario politik yang lebih dalam untuk melemahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto?
Kacamata Teori Komunikasi Politik
Dalam teori Agenda Setting (McCombs & Shaw), isu-isu yang mencuat di ruang publik sering kali bukan murni karena urgensi masalah, tetapi karena bagaimana isu tersebut dibingkai, diulang, dan disuarakan oleh elite dan media. Rangkaian kontroversi ini tampak menumpuk secara cepat sehingga mengkonstruksi opini publik bahwa pemerintah “anti-rakyat” atau “tidak peka.”
Sementara itu, teori Framing (Entman) menjelaskan bagaimana setiap kebijakan bisa dipersepsikan positif atau negatif tergantung pada bingkai komunikasinya. Jika komunikasi pemerintah tidak terkoordinasi, maka framing yang dominan adalah ketidakadilan, ketidakpekaan, dan elitisasi kebijakan. Inilah yang tampak terjadi: framing negatif yang massif mendominasi persepsi publik, sementara komunikasi klarifikasi dan edukasi kebijakan berjalan lamban, parsial, dan tidak solid.
Kacamata Teori Sosial
Dari perspektif Teori Konflik Sosial (Karl Marx dan Ralf Dahrendorf), kebijakan-kebijakan yang menyinggung distribusi sumber daya (tanah, pajak, rekening, royalti) memicu konflik antara negara sebagai pemegang otoritas dengan rakyat sebagai pihak yang merasa dirugikan. Ketika kesenjangan sosial-ekonomi melebar dan ditambah dengan simbol-simbol ketidakpekaan (kenaikan tunjangan DPR, gaya hidup elite), maka lahirlah akumulasi kekecewaan yang mudah meledak dalam bentuk aksi protes besar-besaran.
Di sisi lain, Teori Legitimasi Politik (Max Weber) menekankan bahwa kekuasaan hanya bisa bertahan jika memperoleh legitimasi dari rakyat. Jika serangkaian kebijakan justru menggerus legitimasi, maka kepercayaan publik pada pemerintah melemah. Dalam situasi seperti ini, setiap kesalahan komunikasi atau kebijakan bisa dimaknai sebagai “pengkhianatan” terhadap rakyat.
Dilema Kabinet dan Ancaman Disintegrasi Internal
Opini publik yang berkembang kini mengarah pada dua asumsi:
- Kabinet Merah Putih tidak solid dan tidak mampu menerjemahkan visi Presiden Prabowo.
- Ada unsur kesengajaan dari sebagian elite untuk mengarahkan kemarahan publik agar legitimasi Presiden runtuh.
Jika benar, maka persoalannya bukan hanya soal kebijakan teknis, melainkan juga soal komunikasi politik internal dan loyalitas elite terhadap agenda besar negara.
Refleksi
Dalam situasi politik transisi dan konsolidasi kekuasaan, kontroversi seperti ini sering dijadikan momentum oleh aktor-aktor tertentu untuk menciptakan krisis legitimasi. Oleh karena itu, dibutuhkan:
• Komunikasi politik yang terarah dan konsisten, agar kebijakan tidak salah tafsir di mata publik.
• Partisipasi sosial yang inklusif, sehingga rakyat merasa dilibatkan, bukan ditindas.
• Kepemimpinan kabinet yang solid dan loyal, agar visi presiden tidak terganggu oleh agenda personal atau kelompok.
Rakyat bukanlah objek, melainkan subjek pembangunan. Jika pemerintah gagal membangun komunikasi yang humanis dan kebijakan yang adil, maka legitimasi politik bisa runtuh bukan karena kegagalan Presiden Prabowo, melainkan karena lemahnya tafsir dan pelaksanaan visi oleh para pembantunya.
Dalam pendekatan teori komunikasi politik menegaskan bahwa cara mengelola pesan sama pentingnya dengan substansi kebijakan, sementara teori sosial menekankan bahwa ketidakadilan distribusi sumber daya akan selalu memicu resistensi.
Penulis: Dr. Ibnu Hajar Yusuf.M.I.Kom