Akademisi Soroti Timing Politik dalam Tuduhan Pelecehan Seksual terhadap Rektor UNM

Makassar, 25 Agustus 2025 – Kasus tuduhan pelecehan seksual yang dilayangkan terhadap Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Dr. Karta Jayadi, M.Sn. memunculkan analisis mendalam dari kalangan akademisi mengenai timing dan konteks politik di balik laporan tersebut. Tuduhan yang dilaporkan ke Polda Sulawesi Selatan pada 20 Agustus 2025 ini dinilai memiliki pola yang mencurigakan terkait dengan upaya reformasi tata kelola yang sedang gencar dilakukan Prof. Karta.
QDB, dosen Fakultas Teknik UNM (51) tahun, menuduh Prof. Karta melakukan pelecehan seksual melalui aplikasi WhatsApp pada periode 2022-2024. Pelapor mengklaim mendapat kiriman video dan pesan vulgar serta ajakan bertemu di hotel dengan nuansa seksual. Namun yang menarik perhatian adalah timing laporan ini, yang muncul tepat setelah intensifikasi reformasi anti-korupsi dan restrukturisasi administratif yang dilakukan rektor yang baru menjabat sejak Mei 2024 tersebut.
Polda Sulawesi Selatan melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus telah memulai investigasi sejak 22 Agustus 2025. Kapolda Sulsel Irjen Pol. Wahyu Dwi Ariwibowo memastikan pihaknya akan menangani kasus ini secara profesional dan objektif. Sementara itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi juga membuka pemeriksaan paralel terkait tuduhan tersebut.
Prof. Karta Jayadi tegas membantah semua tuduhan dan melalui kuasa hukumnya telah mengeluarkan somasi balik atas tuduhan fitnah. Rektor yang terpilih melalui proses kontroversial pada Mei 2024 ini menyatakan bahwa laporan tersebut merupakan imbas dari pencopotan jabatan orang-orang yang tidak berkinerja dalam rangka reformasi tata kelola kampus. Ia menilai tuduhan ini sebagai upaya sistematis untuk menggagalkan agenda reformasi yang sedang dijalankannya.
Sejak menjabat, Prof. Karta telah melakukan serangkaian reformasi signifikan termasuk restrukturisasi administratif dengan penggantian posisi-posisi kunci, inisiatif anti-korupsi terkait kasus dugaan korupsi Rp87 miliar dana PRPTN, dan penguatan tata kelola keuangan serta transparansi anggaran. Salah satu keputusan kontroversialnya adalah pemberhentian Wakil Rektor II Prof. Ichsan Ali pada Mei 2025 tanpa pemberitahuan sebelumnya, yang memicu resistensi dari berbagai kalangan internal kampus.
Yang menarik, pelapor QDB adalah mantan Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (Kapuslitbang TIP) UNM yang juga terdampak dalam restrukturisasi yang dilakukan Prof. Karta. Hal ini menambah spekulasi bahwa tuduhan tersebut memiliki motivasi politik untuk melemahkan posisi rektor dalam menjalankan agenda reformasinya.
Ibnu Hajar, Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, menilai pola ini sebagai bentuk “pembunuhan karakter” yang kerap terjadi terhadap pemimpin yang melakukan perubahan mendasar. Mereka menekankan pentingnya menghormati asas praduga tidak bersalah dan memisahkan tegas antara urusan politik dengan kode etik akademik. Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang bebas dari politik destruktif.
Kasus ini juga memperlihatkan resistensi sistematis terhadap upaya reformasi di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sebelumnya, Prof. Karta juga menghadapi berbagai laporan dari LSM terkait dugaan korupsi, protes mahasiswa mengenai tata kelola kampus, dan penolakan terhadap rencana transformasi UNM menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).
Saat ini, kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap Prof. Karta Jayadi masih dalam tahap investigasi dan belum ada kesimpulan hukum yang pasti. Polda Sulsel berkomitmen menangani kasus ini secara transparan dan berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Publik akademik menunggu bagaimana proses hukum akan berjalan sambil berharap tidak ada intervensi politik yang dapat mempengaruhi objektivitas penyelidikan.