“Koperasi Desa Merah Putih”, Ilusi Pemberdayaan dalam Hegemoni Kapitalisme atau Embrio Perlawanan Ekonomi Kolektif?

Gagasan “Koperasi Desa Merah Putih” kembali mengemuka dalam diskursus ekonomi Indonesia, dibingkai dengan semangat nasionalisme untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Konsep ini yang meng-evocasi cita-cita luhur para pendiri bangsa, seolah menawarkan oase kolektivisme di tengah gurun individualisme yang kian dipupuk oleh sistem kapitalisme global. Namun, dari kacamata kritis-Marxis, narasi “Koperasi Desa Merah Putih” ini perlu diinterogasi lebih dalam. Apakah ia sekadar ilusi pemberdayaan yang berfungsi melanggengkan struktur kekuasaan ekonomi yang ada, menjadi katup pengaman sosial dalam hegemoni kapitalisme? Ataukah, ia menyimpan potensi sebagai embrio perlawanan ekonomi kolektif, sebuah alat bagi kelas produsen (pekerja dan petani) untuk merebut kendali atas alat produksi dan nilai lebih yang diciptakan?

Berdasarkan data terbaru yang dirilis Kementerian Koperasi dan UKM hingga akhir 2024 atau awal 2025, jumlah koperasi aktif di Indonesia mencapai sekitar 130.000 hingga 131.000 unit. Angka ini merupakan hasil dari upaya penataan dan pembaruan data, termasuk pendaftaran koperasi baru dan penonaktifan koperasi yang tidak lagi produktif. Jumlah anggota secara kumulatif diperkirakan masih berada di kisaran puluhan juta orang, menunjukkan basis massa yang potensial. Volume usaha dan total aset koperasi secara nasional terus menunjukkan pertumbuhan nominal, mencapai ratusan triliun rupiah.

Namun, di balik angka-angka tersebut, kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih relatif stagnan dan kecil, dilaporkan berada di sekitar 5%-6%. Angka ini mencerminkan bahwa meskipun secara kuantitas dan potensi keanggotaan cukup besar, peran koperasi dalam struktur ekonomi makro Indonesia masih marginal dibandingkan dominasi korporasi swasta besar dan BUMN yang beroperasi penuh dalam logika kapital. Realitas ini menjadi titik berangkat krusial bagi analisis Marxis, yakni bagaimana entitas yang secara ideal mengusung prinsip kolektivisme dapat bertahan dan berkembang, apalagi menantang dalam sistem yang mengagungkan akumulasi kapital privat?

Antara Reformasi Kosmetik dan Potensi Revolusi Sunyi

Dari perspektif Marxis, upaya pemberdayaan ekonomi melalui koperasi seperti “Koperasi Desa Merah Putih” seringkali terjebak dalam dilema antara reformasi dan revolusi. Sebagai gerakan reformis, koperasi dapat memberikan manfaat nyata bagi anggotanya, yaitu peningkatan pendapatan, akses ke layanan, dan perlindungan dari praktik lintah darat. Hal ini merupakan capaian penting yang tidak bisa diabaikan dan memiliki dampak positif langsung pada kehidupan anggota. Namun, jika hanya berhenti di situ, koperasi berisiko menjadi “kosmetik” yang mempercantik wajah kapitalisme tanpa mengubah watak dasar eksploitatifnya.

Potensi transformatif atau “revolusi sunyi” dari koperasi hanya bisa muncul jika ia memenuhi beberapa kondisi krusial. Pertama, koperasi harus menjalankan demokrasi ekonomi radikal, di mana pengambilan keputusan benar-benar berada di tangan anggota secara partisipatif dan setara, bukan didominasi oleh segelintir elit pengurus atau menjadi objek intervensi negara yang melayani kepentingan di luar kepentingan kolektif anggota. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam praktik demokrasi tersebut. Kedua, koperasi perlu fokus pada pembangunan kekuatan kolektif yang solid. Ini berarti koperasi-koperasi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan saling berjejaring dan membentuk federasi atau aliansi yang kuat, baik secara horizontal (antar koperasi sejenis) maupun vertikal (membentuk rantai nilai yang dikuasai koperasi). Kekuatan jejaring ini penting untuk membangun daya tawar kolektif yang signifikan dalam menghadapi kekuatan kapital besar dan dalam memengaruhi kebijakan negara.

Ketiga, orientasi utama koperasi seharusnya adalah pemenuhan kebutuhan anggota dan komunitas, bukan sekadar akumulasi profit tanpa batas. Meskipun harus mampu bertahan dan bersaing di pasar, logika utama koperasi haruslah logika kebutuhan (use value) yang mengalahkan logika pertukaran (exchange value) semata. Ini bisa mencakup pengembangan sektor produksi yang ramah lingkungan, berkelanjutan secara sosial, dan menyediakan barang/jasa esensial bagi anggota dan masyarakat luas dengan harga yang terjangkau. Keempat, anggota koperasi perlu dibekali dengan pendidikan kritis dan diorganisir secara politik. Pendidikan kritis tersebut bertujuan untuk membongkar struktur ketidakadilan ekonomi, memahami mekanisme eksploitasi, dan membangun kesadaran kelas. Lebih lanjut, pengorganisasian politik diperlukan agar koperasi dan anggotanya mampu memperjuangkan perubahan kebijakan yang lebih fundamental, yang mendukung ekonomi kolektif dan melemahkan dominasi kapital. Hal tersebut melampaui sekadar advokasi kebijakan teknis, menuju perjuangan untuk transformasi sosial-ekonomi yang lebih luas.

Tantangan Struktural dan Ideologis

Perjuangan “Koperasi Desa Merah Putih” untuk menjadi kekuatan transformatif dihadapkan pada tantangan berat. Dominasi kapital global dan nasional, dengan jaringan dan sumber daya finansial serta teknologi yang masif, menciptakan medan kompetisi yang sangat tidak setara. Koperasi seringkali kalah dalam skala ekonomi, akses permodalan, dan penguasaan teknologi. Hegemoni ideologi neoliberal yang mengedepankan individualisme, konsumerisme, dan persaingan bebas telah meresap kuat dalam kesadaran masyarakat, mengikis nilai-nilai kolektivisme dan solidaritas. Selain itu, risiko kooptasi oleh negara atau elit politik, di mana koperasi dijadikan alat mobilisasi dukungan politik atau sekadar proyek seremonial tanpa pemberdayaan sejati yang selalu mengintai. Program-program pemerintah yang bersifat top-down dan kurang partisipatif seringkali gagal menumbuhkan kemandirian dan kepemilikan sejati dari anggota koperasi. Digitalisasi ekonomi yang pesat juga menjadi pedang bermata dua, yaitu di satu sisi menawarkan peluang efisiensi dan jangkauan pasar yang lebih luas, namun di sisi lain berisiko memperdalam ketergantungan pada platform teknologi yang dikuasai oleh segelintir korporasi global, serta menciptakan kesenjangan digital baru.

Kesimpulan

Konsep “Koperasi Desa Merah Putih”, jika ingin melampaui sekadar slogan nasionalistis dan menjadi agen perubahan ekonomi yang substantif dari perspektif Marxis, harus berani menghadapi kontradiksi internalnya dan tantangan eksternal yang ada. Ia tidak boleh menjadi alat yang melenakan kelas pekerja dan produsen kecil dalam ilusi pemberdayaan semu di bawah payung negara-kapitalis yang esensinya tidak berubah. Sebaliknya, “Koperasi Desa Merah Putih” harus menjadi arena perjuangan kelas di tingkat mikro, tempat di mana prinsip kepemilikan kolektif atas alat produksi, kontrol demokratis atas proses produksi dan distribusi, serta pembagian nilai lebih yang adil benar-benar dipraktikkan dan diperjuangkan secara sadar dan berkelanjutan oleh anggotanya.

Semangat “Merah Putih” dalam koperasi baru akan bermakna progresif jika ia diisi dengan kesadaran kritis akan realitas eksploitasi struktural dan komitmen untuk membangun kekuatan ekonomi kolektif dari bawah (grassroots). Ini harus menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas menuju tatanan sosial-ekonomi yang lebih adil dan manusiawi, yang tidak lagi didasarkan pada eksploitasi manusia atas manusia. Rekomendasi yang paling real adalah memastikan bahwa koperasi-koperasi yang menyandang label “Merah Putih” ini secara konsisten dan terukur menerapkan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi radikal, membangun jaringan kekuatan kolektif yang otonom, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan substantif anggota, serta aktif dalam pendidikan kritis dan pengorganisasian politik anggotanya. Tanpa keberanian untuk mengkritik relasi kuasa yang timpang dan mentransformasikannya dari dalam, “Koperasi Desa Merah Putih” hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah panjang dominasi kapital di Indonesia. Namun, jika dikelola dengan kesadaran, strategi, dan keberanian politik yang tepat, ia bisa menjadi secercah harapan, embrio dari ekonomi alternatif yang lebih berpihak pada rakyat banyak, dan bukan sekadar ilusi yang melanggengkan ketidakadilan.

Penulis : MEGA OKTAVIANY (Ekonom Universitas Gunadarma)

Back to top button