MoU ‘Sakti’ Kejagung Kini Bisa Intip Percakapan Anda Kapan Saja.

JAKARTA – Nota Kesepahaman (MoU) tentang penyadapan yang diteken Kejaksaan Agung bersama empat raksasa telekomunikasi Indonesia telah menjadi puncak dari gunung es masalah yang jauh lebih dalam. Lebih dari sekadar isu hukum, MoU ini adalah gejala dari kegagalan sistemik negara selama lebih dari satu dekade untuk menciptakan kerangka hukum pengawasan yang sejalan dengan prinsip demokrasi, sebuah kegagalan yang berakar pada kebuntuan politik dan perebutan kuasa antar lembaga.

Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang diklaim sebagai terobosan untuk “memperkuat penegakan hukum” ini sontak memicu badai kritik. Argumen efektivitas berhadapan langsung dengan tudingan cacat hukum dari parlemen dan ancaman terhadap hak privasi dari masyarakat sipil.

“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010 itu jelas menyatakan bahwa penyadapan harus diatur lewat UU khusus,” tegas Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, yang menyuarakan penolakan paling keras. “Sampai hari ini, beleid itu belum ada.”

Pernyataan Nasir merujuk pada jantung persoalan hukum ini. Putusan MK tersebut mengamanatkan pembentukan satu undang-undang payung yang mengatur seluruh aspek penyadapan secara rinci—siapa yang berhak menyadap, atas izin siapa, untuk berapa lama, dan bagaimana mekanisme pengawasannya. Tanpa UU ini, Koalisi Masyarakat Sipil (ELSAM, ICJR) menilai semua tindakan penyadapan berada di “wilayah abu-abu hukum”, sebuah praktik berbahaya yang menempatkan hak privasi warga di bawah ancaman kekuasaan yang tak terkendali.

Mengapa Payung Hukum Itu Mandek?

Pertanyaan krusialnya adalah mengapa RUU Penyadapan yang diamanatkan MK sejak lama itu tak kunjung lahir. Temuan dari risalah rapat di DPR mengungkap adanya “perang dingin” dan tarik-menarik kepentingan antar lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan KPK). Setiap lembaga seolah enggan kewenangannya diatur di bawah satu mekanisme terpusat yang diawasi lembaga lain atau yudikatif.

Perdebatan dalam draf RUU itu sendiri sangat pelik, mencakup:

  • Otoritas Izin: Siapa yang memberi izin? Usulan menunjuk Ketua Mahkamah Agung dimentahkan dengan adanya usulan pengecualian untuk kasus korupsi dan narkotika.
  • Lembaga Pengawas: Munculnya ide “Monitoring Center” yang tidak jelas bentuk dan kewenangannya, memicu kekhawatiran lahirnya lembaga superbody baru.
  • Target: Adanya usulan kontroversial untuk bisa menyadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan dalih “menjaga harkat dan martabatnya”.

Kebuntuan politik inilah yang diduga mendorong Kejagung mengambil “jalan pintas” melalui MoU, sebuah langkah pragmatis yang secara efektif melompati proses legislasi yang rumit.

Dilema Mitra Telekomunikasi dan Cermin dari Luar Negeri

Di tengah pusaran kontroversi ini, empat operator telekomunikasi—Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Telkom—memilih bungkam. Sikap diam ini dapat dipahami sebagai dilema. Di satu sisi, mereka terikat UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan UU ITE yang mewajibkan perlindungan data pelanggan. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan permintaan dari salah satu lembaga penegak hukum terkuat di negara ini.

Ketiadaan kerangka hukum yang jelas menempatkan mereka dalam posisi berisiko, baik secara hukum maupun reputasi.

Situasi di Indonesia menjadi semakin mencolok jika dibandingkan dengan praktik di negara demokrasi lain. Inggris, misalnya, menerapkan sistem “kunci ganda” (double-lock) dalam Investigatory Powers Act 2016. Dalam model ini, surat perintah penyadapan yang dikeluarkan oleh eksekutif (menteri) harus divalidasi dan disetujui oleh seorang Komisioner Yudisial yang independen (hakim senior) sebelum bisa dilaksanakan.

“Sistem ‘kunci ganda’ di Inggris memastikan adanya check and balance antara kebutuhan keamanan dan perlindungan HAM. Ada peran hakim yang menguji legalitasnya,” jelas seorang peneliti dari ELSAM. “Di Indonesia, MoU ini melompati total proses yudisial tersebut.”

Kini, bola panas kembali ke tangan DPR. Komisi III berencana memanggil Kejaksaan Agung untuk Rapat Dengar Pendapat pada awal Juli. Pertemuan ini akan menjadi babak selanjutnya dalam drama yang mempertaruhkan sebuah pilihan fundamental bagi Indonesia: melanjutkan jalan pintas demi kekuasaan, atau kembali ke jalan hukum yang benar dengan menuntaskan pekerjaan rumah legislasi yang telah satu dekade lebih terabaikan.

Back to top button